TNC, bekasi selasa,(18/6/2024) – “Kekuasaan/Politik dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan Penyangga/dasar, sedangkan Kekuasaan/Politik adalah Pemeliharannya/Penjaganya. Sesuatu yang tanpa Penyangga/Dasar akan runtuh, dan Dasar tanpa Penjaganya akan hilang”.
Tahun 1989, Kiai Syansuri Badawi yang ahli fiqih itu, masih saja terjun ke gelanggang politik. Sedang Kiai Mukhtar Syafa'at yang sufi itu, tetap saja menjaga jarak dengan politik. Kedua santri Kiai Hasyim Asy'ari ini memiliki argument masing-masing, naqliyyan aw 'aqliyyan. Secara zahir, keduanya terlihat berbeda, mengingatkan kita saat fikih dan tasawuf masih belum didamaikan oleh al-Ghazali. Namun jika kita bedah isi hatinya, ternyata keduanya memiliki niatan yang sama. Inilah pentingnya niat, yang akan menentukan status sebuah amalan. Maka kita tidak boleh buru-buru menilai seseorang hanya dari zahirnya.---Kiai Syansuri saat menanggapi politik yang dikatakan kotor, beliau berkata: "itu benar, tapi kan kotoran itu bisa terjadi di mana saja, tidak hanya di dunia politik. Kenapa sesuatu bisa menjadi kotor, karena tidak didasarkan kepada agama. Saya masuk ke dunia politik niatnya adalah untuk mengabdi pada agama. Karena itu saya tidak khawatir menjadi kotor. Insyaallah. Bahkan kotoran itulah tugas setiap muslim untuk membersihkannya, dengan amar ma'ruf nahi munkar".---Kiai Syafa'at saat menanggapi kiai yang enggan berpolitik, beliau berkata: "selalu orang NU, saya memilih mengaji saja, sebab hanya orang NU saja yang bisa menyelenggarakan pengajian yang benar-benar, dan didatangi orang. Bukankah ini potensi untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar?. Ini juga sebuah perjuangan untuk umat.---
Wallahu A'lam.
[red]wandi
0 Komentar